BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke ini, terdiri dari bermacam suku bangsa, budaya, ras
dan agama. Disebut juga masyarakat majemuk atau multikultur. Kondisi masyarakat
seperti ini jika berjalan serasi dan harmonis akan menciptakan integrasi
sosial. Jika tidak, terjadilah disintegrasi sosial atau konflik sosial.
Pengaruh kemajemukan masyarakat yang perlu diperhatikan karena dapat
menimbulkan konflik sosial adalah munculnya sikap primordial (primordialisme)
yang berlebihan dan stereotip etnik.
Indonesia
dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun budaya
serta agama dan kepercayaannya. Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat
kesejahteraan ekonomi, pandangan politik serta kewilayahan, yang semua itu
sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski
demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis
dalam kerangka penggalian, pengelo1aan, serta pengembangan potensi bagi bangsa
Indonesia untuk menapaki jenjang masa depannya.
Kemajemukan
masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan
berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak
dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif
(negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya
dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, yakni :
1.
Bagaimana kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
2.
Bagaimana pengaruh kemajemukan masyarakat di Indonesia
?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Maksud
penyusunan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan dan pengetahuan tentang kemajemukan
agama, ras dan etnik serta pembangunan di Indonesia.
Untuk
mengetahui tentang
kemajemukan masyarakat di Indonesia, pengaruh kemajemukan masyarakat di Indonesia, serta mengetahui ketergantungan
Indonesia pada negara asing.
BAB II
PEMBAHASAN
KEMAJEMUKAN
AGAMA, RAS DAN ETNIK
A.
Definisi
Kemajemukan Masyarakat
Keragaman yang terdapat dalam
kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak
ragam, beraneka, berjenis-jenis. Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk
pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India : A Study
of Plural Economy yang isinya menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia
yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam
satu kesatuan sosial politik.
Kemajemukan
masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena
beranekaragam dalam berbagai hal. Selain itu ia juga mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya
adalah berkehidupan secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi
terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam suatu satuan politik. Konsep
ini merujuk pada masyarakat Indonesia masa kolonial.
Masyarakat Hindia-Belanda waktu itu
dalam pengelompokan komunitasnya didasarkan atas ras, etnik, ekonomi, dan
agama. Konsep masyarakat majemuk Furnivall diatas, dipertanyakan validitasnya
sekarang ini sebab telah terjadi perubahan fundamental akibat pembangunan serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Usman Pelly mengkategorikan
masyarakat majemuk disuatu kota berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan
horizontal dan pembelahan vertikal.
Secara horizontal, masyarakat
majemuk dikelompokan berdasarkan :
a.
Etnik
dan ras tau asal usul keturunan
b.
Bahasa
daerah
c.
Adat
istiadat atau perilaku
d.
Agama
e.
Pakaian,
makanan, dan budaya material lainnya
Secara vertikal, masyarakat majemuk
dikelompokan berdasarkan :
a.
Penghasilan
atau ekonomi
b.
Pendidikan
c.
Pemukiman
d.
Pekerjaan
e.
Kedudukan
sosial politik
B.
Faktor
Penyebab Kemajemukan Masyarakat Indonesia
1.
Keadaan geografis wilayah Indonesia
Kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan yang dipisahkan oleh laut
dan selat memungkinkan penduduk yang menempati pulau itu tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa yang terisolasi dengan yang lain. Setiap suku bangsa
mengembangkan pola perilaku, bahasa, dan ikatan kebudayaan lainnya yang berbeda
dengan suku bangsa yang lain.
2.
Letak kepulauan Indonesia diantara dua benua dan dua
samudra
Letak geografis Indonesia memungkinkan masuknya
pengaruh asing dari berbagai bangsa.Bangsa asing tertarik untuk dating,
singgah, dan menetap di Indonesia.Mereka berupaya memperkenalkan budayanya
terhadap bangsa Indonesia.
3.
Pembangunan
Pembangunan di berbagai sektor memberikan pengaruh
bagi keberagaman masyarakat Indonesia. Kemajemukan ekonomi dan industralisasi
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia menghasilkan kelas sosial yang
didasarkan pada aspek ekonomi.
4.
Iklim dan tingkat kesuburan tanah yang berlainan di
berbagai daerah di Indonesia.
Iklim yang berbeda diberbagai daerah menimbulkan
kondisi alam yang berlainan pula kondisi demikian akan membentuk pola perilaku
dan sistem mata pencaharian yang berbeda. Pada akhirnya akan tercipta keberagaman
antar daerah di Indonesia.
C.
Ciri-ciri
Masyarakat Majemuk
Ciri-ciri masyarakat majemuk menurut Vandenberg :
a.
Segmentasi ke dalam kelompok-kelompok
b.
Kurang mengembangkan consensus
c.
Sering mengalami konflik
d.
Integrasi sosial atas paksaan
e.
Dominasi suatu kelompok atas kelompok lain
D.
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
1.
Kemajemukan
Agama
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat religius (agamis). Kesetiaan dan kepatuhan nilai
hidup religius atau keagamaan menjadi jiwa atau semangat dasar sumber
inspirasi, motivasi, dan tonggak pedoman arah bagi manusia dalam menentukan dan
mengambil sikap yang tepat dan benar terhadap setiap perkembangan dan kemajuan
yang ada. Agama-agama di Indonesia, melalui doktrin-doktrin imannya mengajarkan
bahwa dalam hubungan dengan sesama, manusia senantiasa berusaha menciptakan
sebuah relasi sosial yang harmonis dan human. Manusia menjadi sesama bagi orang
lain, yang ditunjukan lewat sikap saling menghormati dan menghargai, saling
membantu dan melayani serta saling mencintai.
Dalam
hubungannya dengan lingkungan sekitar, setiap agama mengajarkan agar manusia
senantiasa berusaha mengolah, dan memelihara kelestariannya. Kesalehan hidup
religius dan kesetiaan pada komitmen moral menjadi kompas kehidupan bagi
manusia Indonesia di tengah amukan dan arus badai masyarakat global.
Penghayatan hidup religius yang baik dan benar serta kesetiaan merupakan
komitmen moral menjadikan manusia semakin manusiawi dan mampu menilai secara
kritis setiap perkembangan dan kemajuan yang ada, serta dapat menentukan sikap
yang tepat dan benar dalam situasi tersebut. Dengan demikian tidak dapat
tergoda dan tenggelam dalam superioritas dangkal dan mental mencari gampang.
Fakta bahwa manusia sering mengalami keterpecahan dan teraleinasi dari diri dan
dunianya, merupakan indikasi bahwa orang belum menghayati hidupnya secara baik
dan benar sesuai dengan ajaran imannya. Ia belum sanggup mengaktualisasikan
visi dan misi dasar keagamaannya.
Kebinekaan
agama (Islam, Protestan, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu dan Aliran
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.) merupakan kenyataan hidup dalam
masyarakat Indonesia. Setiap agama itu mempunyai ajaran dan cara mengungkapkan
diri yang berbeda dalam kehidupan konkret, namun semuanya mempunyai satu
tujuan, yakni mau membimbing dan menuntun manusia kepada keselamatan. Setiap
agama mengajarkan dan menunjukkan kepada manusia jalan keselamatan, lewat
ajarannya tentang kebenaran, keadilan dan kasih. Setiap agama melalui doktrin
imannya, tidak pernah membenarkan dan mengamini setiap perbuatan dan tindakan
manusia yang dapat merugikan dan menghancurkan kehidupan sesama dan
lingkungannya. Ia mengajarkan bahwa dalam hubungan dengan sesama, manusia
kiranya senantiasa berusaha menciptakan sebuah relasi sosial yang harmonis dan
human. Manusia semestinya selalu menjadi sesama orang lain. Hal ini dapat
ditunjukkan lewat sikap saling menghormati dan menghargai, saling membantu dan
melayani serta saling mencintai. Dalam hubungan dengan lingkungan sekitar,
setiap agama mengajarkan agar manusia senantiasa berusaha mengolah, menjaga,
dan memelihara kelestariannya, bukan mengeksploitasi dan merusakannya.
Kesetiaan
dan kepatuhan menghayati nilai-nilai hidup religius atau keagamaan menjadi jiwa
atau semangat dasar, sumber inspirasi, motivasi dan tonggak pedoman arah bagi
manusia Indonesia, dalam menentukan dan mengambil sikap yang tepat dan benar
terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang ada. Dengan demikian manusia
Indonesia tidak terjerumus dan tergiur untuk menikmati tawaran-tawaran
kenikmatan dunia yang dangkal, seperti kekuasaan, pangkat, popularitas diri,
dan harta kekayaan. Sebaliknya, dengan menghayati nilai-nilai religius atau
keagamaan secara baik dan benar, orang justru semakin terbuka dan kritis untuk
mengevaluasi dan melihat nilai-nilai luhur yang ada dibalik setiap perkembangan
dan kemajuan yang, Juga orang akan semakin peka dan tanggap memperhatikan
kehidupan sesama dan kelestarian lingkungan sekitarnya. Dengan demikian manusia
tidak kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai homo religious dan man
for other’s di tengah arus kemajuan tingkat peradabannya sendiri.
2.
Kemajemukan Ras
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan italia, yaitu
razza. Pertama kali istilah ini
diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi prancis untuk mengemukakan gagasan
tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit
dan bentuk wajah.Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan
karakteristik fisik atau biologis.
Berdasarkan karakteristik biologis, pada umumnya
manusia dikelompokkan dalam beragai ras.Manusia dibedakan menurut bentuk wajah,
rambut, tinggi badan, warna kulit, mata, hidung, dan karakteristik fisik
lainnya.Jadi, ras adalah perbedaaan antara manusia menurut atau berdasarkan
ciri fisik biologis.Ciri utama pembeda antara ras yaitu ciri alamiah rambut
pada badan, warna alami rambut, kulit, dan iris mata, bentuk lipatan penutup
mata, bentuk hidung serta bibir, bentuk kepala dan muka, ukuran tinggi badan.
Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat
objektif atau somatic.Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan
pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok
tertentu yang secara genetic memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit,
mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili
factor tampilan luar.
Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam
karakteristik fisik yang penting. Meskipun terdapat beberapa pengecualian,
perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak
fungsional.Perbedaan fisik pada makhuk manusia sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan perbedaan fisik yang terdapat pada banyak makhluk hidup
lainnya, misalnya anjing dan kuda.
Kebayakan ilmuwan dewasa ini sependapat bahwa semua
kelompok ras termasuk dalam satu rumpun yang merupakan hasil dari suatu proses
evolusi, dan semua kelompok ras kurang lebih sama kadar kemiripannya dengan
hewan lainnya.
Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19,
para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu :
a.
Kaukasoid
b.
Negroid
c.
Mongoloid
Adapun ras atau subras yang mendiami kepulauan
Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Papua melanesoid yang mendiami wilayah Papua, Aru, dan
Kai.
b.
Weddoid yang mendiami daerah Sumatra bagian barat
laut.
c.
Malayan Mongoloid yang meliputi Proto Melayu.
d.
Negroid yang mendiami pegunungan Maoke Papua.
e.
Asiatic Mongoloid yang terdiri atas keturunan Tionghoa
dan jepang yang tinggal di Indonesia.
f.
Kaukasoid terdiri atas keturunan Belanda, Inggris,
keturunan Arab, India, Pakistan yang tinggal di Indonesia.
3.
Kemajemukan Etnis atau Suku Bangsa
a.
Koentjaraningrat
menyatakan suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup yang
memiliki sistem interaksi yang ada karena kontinunitas dan rasa identitas yang
mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
b.
Narral mendefinisikan etnis
adalah
sejumlah orang atau penduduk yang memiliki ciri-ciri:
1)
secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2)
mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan
rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya .
3)
membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4)
menentukan kelompoknya yang diterima oleh dan dapat
dibedakan dari kelompok lain.
Tampak bahwa etnis berbeda dari
ras.Jika pengertian ras lebih didasarkan pada persamaan ciri-ciri fisik yang
dimiliki oleh seseorang individu, maka pengertian etnis didasarkan kepada
adanya persamaan kebudayaan dalam kelompok masyarakat tersebut.
Secara etnik, bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk dengan jumlah etnik yang besar. Mengenai jumlah suku
bangsa yang ada di Indonesia telah dikemukakan oleh para ahli. Esser, Berg dan
Sutan Takdir Alisyahbana memperkirakan ada 200-250 suku bangsa. MA, Jaspan
mengemukakan ada 366 suku bangsa. Koentjaraningrat memperkirakan ada 195 suku
bangsa. Hildred Geertz menyatakan lebih dari 300 suku bangsa dengan identitas
budayanya sendiri. William G. Skinner
memperkirakan ada 35 suku bangsa dalam arti lingkungan hukum adat.
Di Indonesia, istilah kelompok etnis
dapat disamaartikan dengan suku bangsa, di samping ada pula yang menyebutkan
dengan golongan etnis. Misal : golongan etnis Tionghoa.
Suku yang berkembang di Indonesia
ada yang memiliki tingkat peradaban yang telah maju dan mampu berbaur dengan
suku bangsa lain. Di samping itu juga masih dijumpai suku bangsa atau
masyarakat terasing.Masyarkat terasing merupakan suku bangsa yang terisolasi
dan masih hidup dari berburu, meramu atau berladang padi, umbi-umbian dengan
system lading berpindah.Masyarakat ini terhambat dari perubahan dan kemajuan
karena isolasi geografi atau upaya yang disengaja untuk menolak bentuk
perubahan kebudayaan.
E.
Pengaruh
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Pengaruh kemajemukan masyarakat
Indonesia berdasarkan suku bangsa, ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh
positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya
yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh
negatifnya antara lain .
a.
Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di
masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut
etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul
konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi
berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya
integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang
rasa dan toleransi.
b.
Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering
diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok
etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip
diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis yang
distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat individual.
Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus
dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang
tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku
lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang
dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan
berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua
orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang
dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial
diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan
memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip
tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus
menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap
seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain,
wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall adalah kehidupan masyarakatnya
berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara
essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat
pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit
politik tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat
persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama
memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat
perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang
tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di
dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang
tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes
untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan
dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat
signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi
menjadi terbuka.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada
masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di
samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara
vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping
terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam
penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau
penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi
lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga,
akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk
pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan
adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura
yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan
distribusi ekonomi. Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton
yang umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan
yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah
orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian
besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan
menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya
ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara
sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu
sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di
sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan
agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di
daerah secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional
yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini
sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu
tidak banyak muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera
diredam secara represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan
potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan
antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak.
Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian
jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat
hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat,
namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan
masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul
karena mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan
secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan,
pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi
konflik dalam masyarakat yang pluralis.
F.
Pembangunan di Indonesia
Pembangunan merupakan proses
perubahan yang berangkat dari situasi nasional tertentu untuk mencapai kondisi
nasional yang lain yang lebih baik. Sejak awal pembangunan kita bersepakat
untuk memanusiawikan pembangunan kita. Kita tidak ingin menjadi manusia
mesin tanpa jiwa dan kalbu, dan sekedar menjadi masyarakat teknologis.
Masyarakat maju dan mandiri di
Indonesia yang diinginkan dan dikehendaki rakyat dan bangsa bukanlah masyarakat
modern sekuler tanpa kendali agama dan moral. Kita tidak ingin terjebak dan
terperosok kedalam penderitaan dan kesalahan bangsa lain dalam pembangunan masa
depan yang diinginkan rakyat Indonesia adalah masyarakat yang berkeseimbangan
kesejahteraan lahir dan batin, Kualitas kehidupan masa kini dapat ditunjukan
dengan cirinsebagai berikut:
1.
Kegagalan
Pembangunan di Indonesia
Krisis sosial yang melanda
Indonesia sejak 1997 hingga saat ini bukan terjadi begitu saja, melainkan suatu
proses panjang yang melibatkan seluruh stake holders. Dapat dikatakan,
krisis multidimensi yang terjadi hingga saat ini merupakan wujud nyata dari
kegagalan pembangunan. Puncak krisis adalah terjadinya kerusuhan 1998 yang
disusul dengan mundurnya Presiden Soeharto. Kegagalan pembangunan tidak hanya
disebabkan oleh karut-marutnya pelaksanaan pembangunan di lapangan, melainkan
dimulai dari hulunya.
Geografi Indonesia sangat luas dan
terdiri dari ribuan pulau dengan sarana komunikasi dan pengangkutan yang belum
sempurna. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia. Kemudian keadaan rakyat, yang menjadi sarana penerangan
dan penyuluhan, masih sangat heterogen dengan kondisi sosial ekonomi dan
tingkat pendidikan serta kecerdasan yang masih sangat terbatas. Keterikatan
sebagian besar rakyat pada tradisi dan kondisi lingkungan juga merupakan
hambatan untuk mengadakan pembaharuan dalam pandangan maupun sikap
hidupnya.
Jika kita menyoroti tentang sumber
daya manusia yang ada, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Indonesia memiliki
sumber daya manusia yang sangat besar, tetapi kualitas SDMnya tidak sesuai yang
diharapkan. Hal ini juga dapat menghambat pelaksanaan pembangunan. Seperti yang
kita lihat, tenaga-tenaga ahli kebanyakan didatangkan dari luar negeri.
Kemudian masalah sumber daya alam, Sebenarnya bangsa kita memiliki sumber daya
alam yang sangat besar, tetapi kita tidak bisa mengolahnya sehingga harus
mengadakan kerjasama dengan perusahaan dari luar negeri. Dengan demikian,
sumber daya alam yang seharusnya bisa kita manfaatkan untuk kemakmuran rakyat
yang sebesar-besarnya tidak bisa maksimal karena harus berbagi keuntungan
dengan pihak kedua.
Kegagalan atau keberhasilan
pembangunan sangat tergantung dari pihak pelaksana (pemerintah dan masyarakat).
Pemerintah dalam merealisasikan suatu kebijakan harus mendapat dukungan dari
rakyatnya, karena tanpa dukungan dari masyarakat suatu kebijakan tidak dapat
berjalan dengan lancar. Kemudian orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan
juga sangat menentukan kelacaran pembangunan, yaitu moral yang dimiliki oleh
para pejabat. Sebagai contoh banyak para pejabat yang melakukan korupsi,
sehingga dana-dana yang sebenarnya untuk pembangunan, sebagian masuk kantong
para pejabat. Hal tersebut tidak kita sadari dapat menyebabkan ketidaklancaran
pembangunan.
2.
Gagasan
Mengatasi Kegagalan Pembangunan
Setelah kita mengetahui beberapa hal yang menyebabkan kegagalan
pembangunan maka dapat diuraikan beberapa solusi yang mungkin dapat
memperlancar pembangunan.
a.
Penerangan pembangunan
Upaya menyebarluaskan pesan-pesan pembangunan melalui kegiatan
“penerangan pembangunan” bertujuan untuk menciptakan kondisi sosial kultural
yang mantap dan dinamis, sehingga setiap warga mau dan mampu mengembangkan
potensi manusiawanya secara optimal. Secara garis besar, tujuan penerangan
pembangunan adalah secara kuatitatif mampu menjangkau masyarakat seluas mungkin
dan secara kualitatif mampu menumbuhkan dan
membina kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
b.
Penyuluhan pembangunan
Suatu sistem pendidikan diluar sekolah untuk anggota masyarakat. Sasaran
penyuluhan adalah manusia. Penyuluhan bertujuan adalah untuk mewujudkan keadaan
yang memungkinkan masyarakat berproduksi lebih baik, melakukan usaha yang lebih
menguntungkan, dan hidup lebih sejahtera baik materi maupun spirit. Berdasarkan
pengalama, untuk lebih berhasilnya pembangunan, maka fungsi penyuluhan oleh
instansi terkait selalu ditangani secara khusus selain fungsi pengaturan dan
pelayanan. Dalam konteks ini penyuluhan berfungsi sebagai faktor penunjang
pembangunan.
c.
Apresiasi keadaan
Dalam rangka mengembangkan peranan dan kegiatan penyuluhan, maka
apresiasi keadaan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat. Ada beberapa
langkah apresiasi kondisi masyarakat yang perlu dipertimbangkan dalam
melaksanakan kegiatan penyuluhan:
1)
Jangkauan media massa terhadap khalayak yang herterogen
masih perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, RRI dan TVRI yang mempunyai stasiun
penyiaran atau produksi, baik yang stasioner maupun keliling di seluruh
Indonesia, seharusnya dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air termasuk
desa-desa. Hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa di berbagai tempat
siaran RRI dan TVRI kurang atau tidak dapat diterima khalayak dengan jelas.
2)
Tujuan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan melalui ide-ide pembaharuan dan perubahan bidang ekonomi, politik,
dan sosial dalam masyarakat tidak selalu mudah diterima, kecuali apabila
masyarakat mengerti dan menyadari betul mengenai manfaat yang akan diperoleh
dari hasil pembaharuan tersebut.
3)
Laju komunikasi
Dalam
masyarakat desa akan dapat berjalan dengan lancar apabila dalam komunikasi ada
pengertian yang benar dan menggunakan bahasa yang sama, sederhana, dan mudah
dimengerti.
Pada umumnya, pemimpin
setempat menyampaikan pesan pembaruan kepada rakyat melalui media komunikasi
tatap muka atau antar pribadi.
Dengan demikian, opini leader setempat memegang peranan penting
dalam komunikasi di daerah pedesaan. Disamping ketiga gagasan tersebut dapat
juga dengan memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Menanamkan moral yang
baik sejak dini sangat penting bagi generasi yang akan datang. Perbaikan mutu
pendidika tersebut bertujuan meningkatkan mutu sumber daya manusia agar dimasa
yang akan datang bangsa kita tidak perlu mendatangkan ahli-ahli dari luar
negeri. Penanaman moral yang baik sejak dini bertujuan untuk meningkatkan mutu
budi pekerti yang baik, jujur, dan bertanggungjawab bagi generasi yang akan
datang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah masyarakat Indonesia majemuk pertama kali
diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India : A Study of
Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang
terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu
kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh
struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor
yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Keadaan
geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan.
b.
Letak
Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua
Asia.
c.
Iklim
yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan agama,
ras dan suku bangsa dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh
positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan
harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatif, munculnya sikap
primordial (primordialisme) yang berlebihan yang mewarnai interaksi sosial
sehingga muncul disintegrasi atau konflik sosial.
B.
Saran
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai
Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan
landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa
sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam satu kemajemukan. Dengan demikian
keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna
tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa
menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah
yang diwujudkan melalui integrasi.
Maka, Indonesia baru yang kita ciptakan itu, hendaknya
ditegakkan dengan menggeser perbadaan yang ada dengan mengedepankan ke Bhinnekaan
sebagai strategi integrasi nasional. Namun, jangan sampai kita salah langkah,
yang bisa berakibat yang sebaliknya sebuah konflik yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, Ruswandi dan Kanda
Rukandi. (2007). Perspektif. Sosial
Budaya. Bandung: UPI Press.
Hermawan, Ruswandi dkk. (2006). perkembangan masyarakat dan Budaya. Bandung:
UPI Press.
Kuswanto dan Bambang Siswanto.
(2003). Sosiologi. Solo: Tiga
Serangkai
0 komentar:
Posting Komentar