Selasa, 24 Oktober 2017

NAMIMAH DAN GHIBAH

By Unknown di Oktober 24, 2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan disekitar kita ada sebagian orang yang melakukan amal kebaikan dan sebaliknya ada yang melakukan amal buruk. Perilaku tercela dalam islam disebut dengan akhlak tercela atau akhlak syai’yah. Contoh dari akhlak tercela yang dapat kita saksikan antrara lain namimah (mengadu domba ) dan gibah (mengumpat). Salah satu akhlak tercela yaitu namimah (adu domba). Kata adu domba identik dengan kebencian dan permusuhan. Sebagian dari kita yang mengetahui bahaya namimah mungkin akan mengatakan,“Ah, saya tidak mungkin berbuat demikian…” Tapi jika kita tak benar-benar menjaganya ia bisa mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan hasad (dengki) telah memenuhi hati. Atau meski bisa menjaga lisan dari namimah, akan tetapi tidak kita sadari bahwa terkadang kita terpengaruh oleh namimah yang dilakukan seseorang. Oleh karena itu kita benar-benar harus mengenal apakah itu namimah.
Sedangkan gibah atau mengumpat adalah membicarakan orang lain tentang sesuatu yang ada padanya dan orang itu tidak menyukai bila dibicarakannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan salah dan lupa, hal ini sudah menjadi suatu yang manusiawi, karena tidak ada manusia yang sempurna. Sehingga dalam makalah ini penulis membahas tentang akhlak tercela diantaranya yaitu namimah dan gibah agar pembaca dapat menghindari akhlak-akhlak tercela tersebut.




B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil yaitu:
1.             Apa pengertian namimah dan gibah ?
2.             Bagaimanakah hukum/ancaman namimah dan gibah ?
3.             Bagiamanakah sikap kita terhadap pelaku namimah ?
4.             Bagaimana cara melepaskan diri dari perbuatan namimah ?
5.             Apakah semua ucapkan yang mengarah kepada berita termasuk namimah ?
6.             Bagaimanakah ghibah yang diperbolehkan dan ghibah yang dilarang ?
C.           Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan yang dapat diambil yaitu:
1.             Mengetahui pengertian namimah dan gibah.
2.             Mengetahui hukum/ancaman namimah dan ghibah.
3.             Mengetahui sikap kita terhadap pelaku namimah.
4.             Mengetahui cara melepaskan diri dari namimah.
5.             Mengetahui ucapan apa yang tidak termasuk namimah.
6.             Mengetahui tentang gibah yang diperbolehkan dan gibah yang dilarang.
D.           Manfaat Penulisan
Dengan memahami materi tentang akhlak tercela atau akhlak mazmumah ini yaitu diantaranya namimah dan gibah, kita akan mampu memahami mana akhlak yang harus dilaksanakan dan mana yang harus dihindari.




BAB II
PEMBAHASAN



A.           Pengertian Namimah dan Gibah
1.             Pengertian namimah
Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka, ini dinamakan namimah. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara keluarga dan sahabat, menceritakan hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan.
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
2.             Pengertian ghibah
Gibah berasal dari bahasa Arab yang artinya mengumpat, maksudnya yaitu membicarakan orang lain tentang sesuatu  yang ada padanya dan orang itu tidak menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan itu tidak ada dihadapannya. Sehingga gibah merupakan suatu tindakan yang bersifat pengecut. Gibah bertujuan untuk menghancurkan orang lain dengan menodai harga diri, kemuliaan, dan kehormatannya.
Nabi saw. Bersabda:” tahukah kamu apakah gibah itu?” para rasul menjawab:”Allah dan rasul-nya lebih mengetahui,”Rasulullah bersabda:”Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan kata-kata yang tidak disenangi,”Para sahabat

berkata : Bagaimana pendapatmu jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya katakana?” Nabi saw.menjawab:”jika memang ada padanya apa yang kamu katakan berarti kamu telah mengumpat/ mengunjing. Jika tidak ada berarati kamu telah membuat kebohongan yang keji terhadap dirinya (fitnah).
Mengumpat adalah menyebut atau memperkatakan seseorang dengan apa yang dibencinya, ini antara lain disebabkan karena dengki, mencari muka,berolok-olok, mengada-adakan, dengan maksud ingin mengurangi respect orang yang diumpat. Mengatakan sesuatu yang tidak kita setujui mengenai kelakuan seseorang, sebaiknya secara berhadapan muka dengan nasehat dan kata-kata yang baik. Jadi, janganlah mengumpat, mencari-cari keburukan orang lain sebab ini hanyalah menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi relasi yang baik. Imam nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh ibnu hajar Artinya: iman Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.

B.            Hukum/Ancaman Namimah dan Ghibah
1.             Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11).
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al Bukhari).
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir.
Pelaku namimah juga diancam dengan azab di dalam kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan: “Suatu hari Rasulullah saw melewati dua kuburan lalu bersabda: “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang di azab. Dan keduanya bukanlah di azab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan, yang pertama, tidak membersihkan  diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Buhkari)
2.             Ghibah
Dari sejumlah dalil Qur’an dan hadits, maka ulama mengambil kesimpulan bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu; haram, wajib, dan boleh.
Haram, hukum asal gosip adalah haram, ketika kita membicarakan aib sesama muslim yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, agama atau duniawi.
Wajib, Ghibah atau membicarakan/menyebut aib orang lain  adakalanya wajib. Hal itu terjado dalam situasi di mana ia menyelamatkan seseorang dari bencana atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik. Misalnya; ada seorang pria atau wanita yang ingin menikah. Dia meminta nasihat tentang calon pasangannya. Maka si pemberi nasehat wajib memberi tahu keburukan atau aib calon pasangannya sesuai dengan fakta yang diketahui pemberi nasehat. Atau seperti si A memberitahukan pada si B bahwa si C berencana untuk mencuri hartanya atau membunuhnya atau mencelakakan istrinya.
Boleh, imam nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut: pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman. Kedua, Isti’anah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemungkaran. Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga, Al-Istifa’ atau meminta fatwa dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa): “saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami”. KeempT, At-Tahdzir lil Muslimin (memperingatkan orang-orang islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka. Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras, narkoba, berpacaran di depan umum dll. Keenam, memberi julukan tertentu pada seseorang.

C.           Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1.             Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2.             Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3.             Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4.             Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5.             Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6.             Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.

D.           Cara Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata kecuali yang baik.

E.            Ucapan yang Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”

F.            Ghibah Yang Dilarang dan Yang Diperbolehkan
1.             Ghibah yang dilarang
Hukum asal gibah adalah haram. Gibah yang haram adalah ketika anda membicarakan aib seseorang yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, terkait dengan agama atau duniawi. Hukum haram ini tersurat secara tegas dalam Al-quran, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qurtubi yang menjadi perselisihan ulama hanyalah apakah ghibah termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas  ulama menganggapnya sebagai dosa besar, menurut ibnu Hajar Al-Haitami ghibah dan namimah termasuk dosa besar.
Imam Namawi dalam kitab Al-Adzkar berkata: Ghibah itu haram tidak hanya bagi pembawa gosip tapi juga bagi pendengar yang mendengar orang memulai berghibah untuk berusaha menghentikannya apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman. Apabila takut ia wajib mengingkari dengan hatinya dan keluar dari majelis pertemuan kalau memungkinkan. Apabila mampu mengingkari dengan lisan atau dengan mengalihkan pembicaraan maka hal itu wajib dilakukan.Apabila tidak dilakukan maka ia berdosa.
Adapun dalil tentang keharaman ghibah yaitu:
QS. Al-Hujurat: 12
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَا كُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِ هْتُمُوْهُ وَا تَّقُوْا اللهَ إِنَّ تَوَّا بٌ رَحِيْمٌ.
Artinya: dan janganlah kamu menggunjing satu sama lain. Adakah seseorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”.

2.             Ghibah yang diperbolehkan
Sebagaimana dalam al-quran An-Nisa: 184:

لَا يُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ اْلقَوْلِ إِلَا مَنْ ظَلِمَ وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

Artinya: “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang Diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah maaha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Hibban dan Baihaqi:
“ceritakan tentang pendosa apa adanya supaya orang lain menjadi takut”. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh muslim: “Setiap umatku akan dimaafkan kecuali para mujahir”. Kaum mujahir adalah orang-orang yang menampakkan perilaku dosanya untuk diketahui umum. Menurut Baihaqi dalam hadits yang diriwayatkannya: “Barangsiapa yang tidak punya rasa malu untuk berbuat dosa, maka tidak ada ghibah yang dilarang baginya.
Adapun ghibah yang diperbolehkan sebagaimana: imam nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut: pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman. Kedua, Isti’anah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemungkaran. Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga, Al-Istifa’ atau meminta fatwa dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa): “saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami”. KeempT, At-Tahdzir lil Muslimin (memperingatkan orang-orang islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka. Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras, narkoba, berpacaran di depan umum dll. Keenam, memberi julukan tertentu pada seseorang apabila seseorang itu dikenal dengan julukan.















BAB III
PENUTUP


A.           Kesimpulan
Namimah adalah Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka. Sedangkan Gibah berasal dari bahasa Arab yang artinya mengumpat, maksudnya yaitu membicarakan orang lain tentang sesuatu  yang ada padanya dan orang itu tidak menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan itu tidak ada dihadapannya.
B.            Saran
Setelah mempelajari mata kuliah akidah akhlak khususnya pembahasan tentang sifat tercela terkhusus sifat namiamah dan ghibah dapat kita jadikan sebagai pedoman hidup untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.










DAFTAR PUSTAKA


Firmansyam. (2015). Makalah Namimah Dan Ghibah. [Online]. Tersedia: https://firmansyam22.blogspot.co.id/2015/10/makalah-namimah-dan-ghibah_12.html [diakses Oktober 2015].

Komari Rasyid, Pendidikan Agama Islam; Citra Pustaka.

Umary Barmawie Drs.( 1993).Materi Akhlak. Cet. XI; Yogyakarta: Ramadhani








0 komentar:

Posting Komentar

Pages

 

MBAK EKA IDRIS 1922 Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos