BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan disekitar kita ada
sebagian orang yang melakukan amal kebaikan dan sebaliknya ada yang melakukan
amal buruk. Perilaku tercela dalam islam disebut dengan akhlak tercela atau
akhlak syai’yah. Contoh dari akhlak tercela yang
dapat kita saksikan antrara lain namimah (mengadu domba ) dan gibah
(mengumpat). Salah satu akhlak tercela yaitu namimah (adu domba). Kata
adu domba identik dengan kebencian dan permusuhan. Sebagian dari kita yang
mengetahui bahaya namimah mungkin akan mengatakan,“Ah, saya tidak
mungkin berbuat demikian…” Tapi jika kita tak benar-benar menjaganya ia
bisa mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan hasad (dengki) telah
memenuhi hati. Atau meski bisa menjaga lisan dari namimah, akan tetapi tidak
kita sadari bahwa terkadang kita terpengaruh oleh namimah yang dilakukan
seseorang. Oleh karena itu kita benar-benar harus mengenal apakah itu namimah.
Sedangkan gibah atau mengumpat adalah membicarakan orang lain tentang
sesuatu yang ada padanya dan orang itu tidak menyukai bila dibicarakannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan salah dan lupa, hal ini sudah
menjadi suatu yang manusiawi, karena tidak ada manusia yang sempurna. Sehingga
dalam makalah ini penulis membahas tentang akhlak tercela diantaranya yaitu
namimah dan gibah agar pembaca dapat menghindari akhlak-akhlak tercela
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
yaitu:
1.
Apa pengertian namimah dan gibah ?
2.
Bagaimanakah hukum/ancaman namimah dan gibah ?
3.
Bagiamanakah
sikap kita terhadap pelaku namimah ?
4.
Bagaimana cara
melepaskan diri dari perbuatan namimah ?
5.
Apakah semua
ucapkan yang mengarah kepada berita termasuk namimah ?
6.
Bagaimanakah ghibah yang
diperbolehkan dan ghibah yang dilarang ?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan yang dapat
diambil yaitu:
1.
Mengetahui pengertian namimah dan gibah.
2.
Mengetahui hukum/ancaman
namimah dan ghibah.
3.
Mengetahui
sikap kita terhadap pelaku namimah.
4.
Mengetahui cara
melepaskan diri dari namimah.
5.
Mengetahui
ucapan apa yang tidak termasuk namimah.
6.
Mengetahui tentang gibah yang diperbolehkan dan gibah
yang dilarang.
D.
Manfaat Penulisan
Dengan memahami materi tentang
akhlak tercela atau akhlak mazmumah ini yaitu diantaranya namimah dan gibah,
kita akan mampu memahami mana akhlak yang harus dilaksanakan dan mana yang
harus dihindari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Namimah dan Gibah
1.
Pengertian namimah
Menyampaikan
perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan
pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara
keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka, ini dinamakan namimah. Keadaan ini
mengakibatkan timbulnya kejahatan antara keluarga dan sahabat, menceritakan
hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan.
Al-Baghawi rahimahullah
menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan
tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah
tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak
suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau
pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu
berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
2.
Pengertian ghibah
Gibah berasal dari bahasa Arab yang
artinya mengumpat, maksudnya yaitu membicarakan orang lain tentang
sesuatu yang ada padanya dan orang itu tidak menyukainya bila
dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan itu tidak ada dihadapannya.
Sehingga gibah merupakan suatu tindakan yang bersifat pengecut. Gibah bertujuan
untuk menghancurkan orang lain dengan menodai harga diri, kemuliaan, dan
kehormatannya.
Nabi saw. Bersabda:” tahukah kamu apakah gibah itu?” para rasul
menjawab:”Allah dan rasul-nya lebih mengetahui,”Rasulullah bersabda:”Engkau
menyebut-nyebut saudaramu dengan kata-kata yang tidak disenangi,”Para sahabat
berkata : Bagaimana pendapatmu
jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya katakana?” Nabi
saw.menjawab:”jika memang ada padanya apa yang kamu katakan berarti kamu telah
mengumpat/ mengunjing. Jika tidak ada berarati kamu telah membuat kebohongan
yang keji terhadap dirinya (fitnah).
Mengumpat adalah menyebut atau memperkatakan seseorang
dengan apa yang dibencinya, ini antara lain disebabkan karena dengki, mencari
muka,berolok-olok, mengada-adakan, dengan maksud ingin mengurangi respect orang
yang diumpat. Mengatakan sesuatu yang tidak kita setujui mengenai kelakuan
seseorang, sebaiknya secara berhadapan muka dengan nasehat dan kata-kata yang
baik. Jadi, janganlah mengumpat, mencari-cari keburukan
orang lain sebab ini hanyalah menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi
relasi yang baik. Imam nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip
oleh ibnu hajar Artinya: iman Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti
pandangan Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan
sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya,
hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang
berseri atau masam, atau yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan
lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.
B.
Hukum/Ancaman
Namimah dan Ghibah
1.
Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan
ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan
haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur
fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11).
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu
domba).” (HR. Al Bukhari).
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri
dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan
tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk
surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa
pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa
langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak
mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak
menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal
mempraktekkan sihir.
Pelaku namimah juga diancam dengan azab di dalam kubur. Ibnu Abbas
meriwayatkan: “Suatu hari Rasulullah saw melewati dua kuburan lalu bersabda:
“Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang di azab. Dan keduanya bukanlah di
azab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan, yang pertama, tidak
membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana
kemari menyebarkan namimah.” (HR. Buhkari)
2.
Ghibah
Dari sejumlah dalil Qur’an dan hadits, maka ulama mengambil kesimpulan
bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu; haram, wajib, dan boleh.
Haram, hukum asal gosip adalah haram, ketika kita membicarakan aib sesama muslim
yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku,
agama atau duniawi.
Wajib, Ghibah atau membicarakan/menyebut aib orang lain adakalanya wajib.
Hal itu terjado dalam situasi di mana ia menyelamatkan seseorang dari bencana
atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik. Misalnya; ada seorang pria
atau wanita yang ingin menikah. Dia meminta nasihat tentang calon pasangannya.
Maka si pemberi nasehat wajib memberi tahu keburukan atau aib calon pasangannya
sesuai dengan fakta yang diketahui pemberi nasehat. Atau seperti si A
memberitahukan pada si B bahwa si C berencana untuk mencuri hartanya atau
membunuhnya atau mencelakakan istrinya.
Boleh, imam nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang
dibolehkan menjadi enam sebagai berikut: pertama, At-Tazhallum. Orang
yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya
hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk
melenyapkan kezaliman. Kedua, Isti’anah (meminta pertolongan) untuk
merubah atau menghilangkan kemungkaran. Seperti mengatakan kepada orang yang
diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini
(perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga, Al-Istifa’ atau meminta fatwa
dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa):
“saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami”. KeempT, At-Tahdzir
lil Muslimin (memperingatkan orang-orang islam) dari perbuatan buruk dan
memberi nasihat pada mereka. Kelima, orang yang menampakkan kefasikan
dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras, narkoba,
berpacaran di depan umum dll. Keenam, memberi julukan tertentu pada
seseorang.
C.
Sikap
Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan
setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya:
“Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini
terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1.
Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah
adalah orang fasik.
2.
Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan
mencela perbuatannya.
3.
Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci
di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4.
Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang
dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5.
Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya
dikarenakan namimah yang didengarnya.
6.
Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut,
sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan
namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan
begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia
telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
D.
Cara
Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita
berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah.
Karena
betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di
hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada
saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela
yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam
memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang
kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci,
saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang
ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang
bersaudara.” (HR. Muslim).
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari
perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara
kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata
kecuali yang baik.
E.
Ucapan
yang Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang
perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah
seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang
dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau
bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada
pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat
aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan
menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang
yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan
berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila
tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah
gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk
membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam
hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah
lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah
dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan
benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak
menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika
sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
F.
Ghibah Yang Dilarang dan Yang Diperbolehkan
1.
Ghibah yang dilarang
Hukum asal gibah adalah haram. Gibah
yang haram adalah ketika anda membicarakan aib seseorang yang dirahasiakan.
Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, terkait dengan agama
atau duniawi. Hukum haram ini tersurat secara tegas dalam Al-quran, sebagaimana
disebutkan oleh Al-Qurtubi yang menjadi perselisihan ulama hanyalah apakah
ghibah termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas ulama menganggapnya
sebagai dosa besar, menurut ibnu Hajar Al-Haitami ghibah dan namimah termasuk
dosa besar.
Imam Namawi dalam kitab Al-Adzkar
berkata: Ghibah itu haram tidak hanya bagi pembawa gosip tapi juga bagi
pendengar yang mendengar orang memulai berghibah untuk berusaha menghentikannya
apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman. Apabila takut ia wajib
mengingkari dengan hatinya dan keluar dari majelis pertemuan kalau
memungkinkan. Apabila mampu mengingkari dengan lisan atau dengan mengalihkan
pembicaraan maka hal itu wajib dilakukan.Apabila
tidak dilakukan maka ia berdosa.
Adapun dalil tentang keharaman
ghibah yaitu:
QS. Al-Hujurat: 12
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَا كُلَ لَحْمَ
اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِ هْتُمُوْهُ وَا تَّقُوْا اللهَ إِنَّ تَوَّا بٌ رَحِيْمٌ.
Artinya: “dan
janganlah kamu menggunjing satu sama lain. Adakah seseorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima
taubat lagi maha penyayang”.
2.
Ghibah yang diperbolehkan
Sebagaimana
dalam al-quran An-Nisa: 184:
لَا يُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ اْلقَوْلِ إِلَا مَنْ ظَلِمَ
وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
Artinya:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang Diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Allah adalah maaha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Hibban dan Baihaqi:
“ceritakan tentang pendosa apa
adanya supaya orang lain menjadi takut”. Sedangkan hadits yang diriwayatkan
oleh muslim: “Setiap umatku akan dimaafkan kecuali para mujahir”. Kaum mujahir
adalah orang-orang yang menampakkan perilaku dosanya untuk diketahui umum.
Menurut Baihaqi dalam hadits yang diriwayatkannya: “Barangsiapa yang tidak
punya rasa malu untuk berbuat dosa, maka tidak ada ghibah yang dilarang
baginya.
Adapun ghibah yang diperbolehkan
sebagaimana: imam nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah
yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut: pertama, At-Tazhallum.
Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya.
Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas)
untuk melenyapkan kezaliman. Kedua, Isti’anah (meminta pertolongan)
untuk merubah atau menghilangkan kemungkaran. Seperti mengatakan kepada orang
yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini
(perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga, Al-Istifa’ atau meminta fatwa
dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa):
“saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami”. KeempT, At-Tahdzir
lil Muslimin (memperingatkan orang-orang islam) dari perbuatan buruk dan
memberi nasihat pada mereka. Kelima, orang yang menampakkan kefasikan
dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras, narkoba,
berpacaran di depan umum dll. Keenam, memberi julukan tertentu pada
seseorang apabila seseorang itu dikenal dengan julukan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Namimah adalah Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan
seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud
mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka.
Sedangkan Gibah berasal dari bahasa Arab yang artinya mengumpat, maksudnya
yaitu membicarakan orang lain tentang sesuatu yang ada padanya dan orang
itu tidak menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan itu
tidak ada dihadapannya.
B.
Saran
Setelah mempelajari mata kuliah
akidah akhlak khususnya pembahasan tentang sifat tercela terkhusus sifat
namiamah dan ghibah dapat kita jadikan sebagai pedoman hidup untuk tidak
melakukan perbuatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyam.
(2015). Makalah Namimah Dan Ghibah. [Online].
Tersedia: https://firmansyam22.blogspot.co.id/2015/10/makalah-namimah-dan-ghibah_12.html [diakses
Oktober 2015].
Komari Rasyid, Pendidikan Agama Islam; Citra Pustaka.
Umary Barmawie Drs.( 1993).Materi Akhlak. Cet.
XI; Yogyakarta: Ramadhani
0 komentar:
Posting Komentar