BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
Kewarganegaraan dalam bahasa lain disebut Civics, selanjutnya dari kata Civic ini dalam bahasa inggris artinya
mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata Civic lahir kata Civics, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan
Kewarganegaraan.
Pelajaran Civics diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun
1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan
nama Theory of Americanization. Sebab
seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di
Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu
diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut,
pelajaran civics membicarakan masalah goverment,
hak dan kewajiban warga negara dan civics merupakan bagian dari ilmu politik.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian
Kewarganegaraan
2.
Latar
Belakang Kewarganegaraan
3.
Sejarah
perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia
4.
Teori
Pendidikan Kewarganegaraan
C. TUJUAN MAKALAH
Untuk mengetahui bahwa negara kita negara yang bertanggung
jawab dan bisa menjunjung tinggi kebangsaan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN
Kata kewarganegaraan dalam bahasa
Latin disebut Civicus. Selanjutnya,kata Civicus diserap ke dalam bahasa
Inggris menjadi kata Civic yang artinya mengenai warga negara atau
kewarganegaraan. Dari kata Civic lahir kata Civic yaitu ilmu
kewarganegaraan, dan Civic Education , yaitu Pendidikan Kewarganegaraan.
Pada hakekatnya pendidikan adalah
upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu negara untuk menjamin
kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya. Selaku warga
masyarakat,warga bangsa dan negara,secara berguna dan bermakna serta mampu
mengantisipasi hari depan mereka yang selalu berunah dan selalu terkait dengan
konteks dinamika budaya,bangsa,negara dan hubungan international,maka
pendidikan tinggi tidak dapat mengabaikan realita kehidupan yang mengglobal
yang digambarka sebagai perubahan kehidupan yang penuh dengan paradoksal dan
ketidak keterdugaan.
B.
LATAR BELAKANG KEWARGANEGARAAN
Perjalanan panjang sejarah bangsa
Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian
dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan hingga era
pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai
dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh
bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa
tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai-nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan
semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong
proses terwujudnya Negara Kesatuaan Republik Indonesia dalam wadah
nusantara.
Semangat perjuangan bangsa yang tak
kenal menyerah telah terbukti pada Perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semangat
perjuangan bangsa tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketakwaaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. Landasan perjuangan
tersebut merupakan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia.
Semangat perjuangan bangsa merupakan
kekuatan mental spiritual yang dapat melahirkan sikap dan perilaku heroik dan
patriotic serta menumbuhkan kekuatan, kesangupan, dan kemauan yang luar biasa.
Semangat perjuangan bangsa inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu, nilai-nilai perjuangan bangsa masih
relevan dalam memecahkan setiap permasalahan dalam masyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta sudah terbukti keandalannya.
Nilai-nilai perjuangan bangsa
Indonesia dalam perjuangan fisik merebut, mempertahankan, dan mengisi
kemerdekaan telah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa telah
mengalami penurunan pada titik yang kritis. Hal ini disebabkan antara lain
pengaruh globalisasi.
Globalisasi ini ditandai oleh
kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatann internasional, Negara-negara
maju yang ikut mengatur perpolitikan, perekonomian, sosial budaya serta
pertahanan, dan keamanan global. Kondisi ini akan menumbuhkan berbagai konflik
kepentingan, baik antara negara maju dan Negara berkembang, antara Negara
berkembang dan lembaga internasional, maupun antara Negara berkembang.
Disamping itu, isu global yang mengikuti demokratisasi, hak asasi manusia dan
lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasiaonal.
Globalisasi yang juga ditandai oleh
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang
informasi, komunikasi, dan transportasi membuat dunia jadi transparan
seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini
menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Kondisi ini akan mempengaruhi
struktur dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia,
serta akan mempengaruhi pola piker, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia.
Pada akhirnya, kondisi tersebut akan mempengaruhi kondisi mental spiritual
bangsa Indonesia.
Semangat perjuangan bangsa yang
merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan kekuatan yang luar biasa
dalam masa Perjuangan Fisik. Sedangkan dalam menghadapi globalisasi dan menatap
masa depan untuk mengisi kemerdekaan, kita memerlukan Perjuangan Non Fisik
sesuai denagn bidang profesi masing-masing. Perjuangan inipun dilandasi oleh
nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia, sehingga kita tetap memiliki wawasan
dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air, dan
mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela Negara demi
tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan Non Fisik sesuai dengan
bidang profesi masing-masing tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan
bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai calon
cendikiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
C.
SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Sebagai mata pelajaran di sekolah,
Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik
dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi
kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan
negara. Secara historis, epistemologis dan pedagogis, pendidikan
kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan
diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962 yang
berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics
ataukewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan
dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik,
pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7). Istilah Civics tersebut secara
formal tidak dijumpai dalam Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun
1946. Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat
mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946 terdapat
mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan
mengenai pemerintahan.
Kemudian dalam kurikulum tahun 1968
dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara
bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan
istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran,
yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d
iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia
dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat
mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan
dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah
Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept.
P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme,
patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298).
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah
Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan
yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan
mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata
pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan
berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari
Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcationdengan muatan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)
Dalam perkembangan Kurikulumnya,
Pendidikan Kewarganegaraan beberapa kali diperbaharui. Tahun 2001, materi
disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar dengan tambahan materi demokrasi,
HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional,
politik dan strategi nasional. Kemudian, Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No.
38/Dikti/Kep/2002 materi berisi pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi,
HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
dalam dunia Perguruan Tinggi.
Hal ini ditetapkan pada Kep. Dirjen
Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, menentukan antara lain:
1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan
salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK.
2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti PT
di Indonesia.
3) mata Kuliah PKn adalah MK wajib
untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada PT untuk program Diploma/Politeknik,
dan Program Sarjana.
Hal ini menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia yang ikut berpatisipasi dalam membangun bangsa.
Hal ini menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia yang ikut berpatisipasi dalam membangun bangsa.
Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya
muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai
bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal
39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan
kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi
pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas
dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang
ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept
development (Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila
dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur
wulan dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa
ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge
dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang
dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan
pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang
beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai
pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama
Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan
berubah nama menjadiKewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan
yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada
masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn
sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam
kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual,
yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum
sebagai berikut :
a) Kewarganegaraan (1956)
b) Civics (1959)
c) Kewarganegaraan (1962)
d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
e) Pendidikan Moral Pancasila (1975)
f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan
(1994)
g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No.
20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas
ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat
pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format
pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut
tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk
pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format
buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum
banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua
jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan
sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan
metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma
pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional
sebagai rujukan konseptual dan operasional.
D.
TEORI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan yang
memiliki ciri pendekatan interdisipliner berlandaskan pada teori-teori disiplin
ilmu-ilmu sosial, yang secara struktural bertumpu pada disiplin ilmu politik.
Melalui proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada
dasarnya akan terbentuk perilaku warga negara sebagaimana dengan teori-teori
berikut:
1.
Teori
Emile Durkheim
Emile
Durkheim, seperti para ilmu yang lainnya, mengemukakan pengaruh kelompok dan
kekuatan masyarakat terhadap apa yang selalu dipandang sebagai kekuatan
tindakan pribadi.
Beberapa
teori Durkheim yang terkenal tentang kehidupan masyarakat sebagai berikut:
a.
Teori
Anomi
Teori
ini merupakan sebuah kondisi manusiawi yang ditandai oleh ketiadaan peraturan
sosial, yang sekaligus sebagai pandangan bentuk kemanusiaan yang asosial,
non-rasional dan tak berbentuk. Anomi juga merupakan penemuan konseptual yang
paling khas dari Durkheim dalam teori sosialnya.
b.
Teori
Konsensus
Teori ini menyatakan bahwa fakta-fakta sosial tidak dapat
direduksi ke taraf kenyataan yang lebih rendah seperti yang dipelajari dala
biologi dan psikologi khususnya individu. Ia berasumsi bahwa masyarakat sebagai
sebuah kenyataan organis yang independen memiliki hukum-hukumnya sendiri,
perkembangan dan hidupnya sendiri.
c.
Teori
Solidaritas atau kesadaran kolektif
Durkheim
mengemukakan dalam bukunya Division of
Labor in society bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan
struktur sosial dari sosidaritas mekamik ke solidaritas organik.
2.
Teori-teori
Thomas Hobbes
Hobbes
sangat populer karena kritikan dan kesalahan yang dituduhkan kepadanya oleh
ilmuan sosial yang satu generasi dan generasi setelahnya, terutama mengenai
pemikiran filsafat poltik, analisis moralitas, dan faham ‘ateis’-nya, namun
karya-karyanya banyak dibaca secara luas khusunya di Inggris dan Eropa umumnya.
Beberapa
teori Hobbes yang terkenal tentang kehidupan sosial dan warga negara sebagai
berikut:
a.
Teori
Kontrak Sosial
Teori
ini bertolak dari asumsi mengingat individu cenderung mencari perdamaian bagi
kelangsungan dirinya dan karena akal menetapkan bahwa kehidupan yang teratur
tidaklah memungkinkan selama masih berlangsungnya keadaan alamiah.
Menurut
ajarannya , manusia tidak dapat dipercaya dalam memegang perjanjiannya tanpa
adanya kekuatan eksternal.
b.
Teori
Kedaulatan
Teori
ini menyatakan bahwa pihak yang menyerahkan kekuasannya kepada seseorang di
mana seseorang tersebut bisa menjadi penguasa. Penguasa terlepas dari kritik
dan kebijakannya yang bebas dari debat publik, steril, dari sensor terhadap
semua pendapat dan doktrin yang diserahkan kepadanya. Sebagaimana dinyatakan
Hobbes (1651):
Kekuasaan tidak bisa dipindahkan
kepada orang lain tanpa persetujuannya. Ia tidak bisa kehilangan kekuasaannya.
Ia tidak bisadituduh melakukan penganiayaan oleh bawahan-bawahannya... Ia
adalah orang yang memutuskan apa yang perlu diakatakan untuk perdamaian. Ia
adalah satu-satunya legalisator dan hakim perselisihan yang tertinggi, dan
hakim pada masa perang dan damai. (Pherson, 1968;26).
c.
Teori
Indiviualisme
Teori
ini menyatakan bahwa pihak yang menyerahkan kekuasaanya kepada seseorang di
mana seorang tersebut bisa menjadi penguasa.
3.
Teori-teori
John Locke
Teori-teori
Locke yang terkenal tentang kehidupan sosial dan kewarganegaraan sebagai
berikut:
a.
Teori
Kekuasaan Negara yang Terbatas
Bila
menurut Hobbes pemerintah tidak meiliki kewajiban kepada rakyat karena tidak
pernah membuat kontrak dengan rakyat, hal ini muncul lebih merupakan sebagai
hasil sampingan kesepakatan di antara rakyatnya.
Meskipun
manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam keadaaan alamiah, berbagai
kekurangan atau kondisi adanya masalah serius dalam sistem sosial mendorong
manusia untuk bersatu dalam mayarakat politik.
b.
Teori
liberalisme Modern
Locke
memang pendiri pandangan liberal modern mengenai hak individu manusia. Ia
memberi pandagan tentang hak alamiah di mana setiap orang, karena hukum alam,
berhak atas kehidupan, kebebasan serta hak milik agar dapat bertahan hidup dan
berkembang.
Lockedan
membedakan antara politik dan keluarga yang diibaratkan antara orang dewasa dan
kanak-kanak. Dikemukakan bahwa all men by Nature adalah setara (equal), bebas
(free) dan rasional.
4.
Teori-teori
Jean-Jacques Rousseau
Rousseau
adalah seorang tokoh aliran romantisme, yakni gerakan pemikiran sebagai
pemberontakan terhadap zaman rasionalisme yang menentang standar moral dan
estetik yang sudah dierima.
Beberapa teori Rousseau antara lain
adalah:
a.
Teori
Kontrak Sosial
Rousseau
dalam teorinya yang ditulis dalam Du
Contract Social (1762) mengemukakan bahwa “manusia terlahir bebas, dan di
mana-mana ia mengenakan rantai.” Bagi Rousseau manusia terlahir bebas dan
masyarakat sipil adalah suatu kebutuhan, serta persetujuan adalah satu-satunya
dasar yang absah bagi kekuasaan politik.
b.
Teori
Romantisisme
Dalam
tulisannya yang berjudul On the origin
and foundation of inequality among man, second discourse (1754). Rousseau
berekpekulasi tentang asal-usul masyarakat dan kebangkitan pemerintahan yang
pesimistik.
Demikianlah
beberapa teori ilmu-ilmu sosial yang telah dikemukakan oleh para pelopornya
yang banyak mempengaruhi perilaku kewarganegaraan. Teori-teori tersebut telah
menjadi landasan berpikir bagi warga negara dalam berbagai aktivitas
kemasyarakatan dan kewarganegaraan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hal ini menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat
dibutuhkan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan jati dirinya sebagai warga
negara Indonesia yang ikut berpatisipasi dalam membangun bangsa.
B.
SARAN
Walaupun Mata Kuliah Pendidikan
telah banyak mengalami perubahan baik secara istilah maupun secara sisi yang
diajarkan namun hal itu bertujuan agar mampu membentuk suatu Pendidikan yang
nantinya berguna untuk mengembangkan pribadi generasi muda dalam membangun
bangsa sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut
terus disesuaikan dengan keadaan dan kemajuan dunia agar jati diri bangsa
Indonesia tidak tergoyahkan dan mampu berinteraksi dengan dunia Internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Azmi,
Shofiatul. Dra., M.Pd. (2008). Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) Bukan Mata Kuliah Baru.
Sakon,
Shima. (2014). Pendidikan Kewarganegaraan, [Online]. Tersedia:
http://shimakyoki.blogspot.co.id/2014/03/pendidikan-kewarganegaraan.html [diakses
12 Maret 2014].pukul 06.52 WIB
Lemhanas,
(2000), Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar